Selasa, 03 Juni 2014

Media Televisi; Antara Pencitraan Capres dan Informasi Pilpres


Masjid Babussalam Kuzazo – Pemilihan Presiden kian dekat. Genderang perang dan propaganda kian gencar dilakukan oleh masing-masing kedua kubu capres dan cawapres. Sebagian orang menganggapnya adalah hal yang biasa, bahkan penggunaan kata “perang” pun menurutnya adalah sebuah pemaksaan istilah, mengingat di dunia politik tak ada yang abadi. Satu kubu boleh saja berseberangan dengan yang lain, namun di kali yang lain ia bisa jadi menjadi teman akrab bagi musuhnya.


Media menjadi senjata paling ampuh dalam menyebarkan opini dan propaganda. Seperti yang kita ketahui, beberapa elit politik memiliki hubungan erat dengan media kenamaan di negeri ini, televisi utamanya. Abu Rizal Bakrie, Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo adalah masing pemilik TVOne (Viva Group), MetroTV dan MNC Group.

Jika sempat, cobalah secara seksama perhatikan kemana arah pemberitaan saat masing-masing stasion televisi tersebut menampilkan info tentang politik, terkhusus kaitannya dengan Pilpres? Yak, amatlah mudah menebak kemana semua pemberitaan itu akan bermuara. Sadar atau tidak, kita akan digiring pada suatu opini tunggal, pencitraan kepada calon capre dan cawapres yang didukung oleh pemilik televisi tersebut. 

Kali ini, Babussalam menyuguhkan apa yang dilakukan oleh salah satu media kenamaan di negeri ini. Tulisan ini kami sadur secara menyeluruh dari situs  http://www.voa-islam.com dengan judul Metro TV Menghancurkan Prabowo Dengan Teori Kontradiksi Ala Komunis. Tulisan ini tidaklah bermaksud mendukung salah satu kubu capres/cawapres, tapi sekedar menjadi tambahan informasi buat kita, agar kita semakin jeli tentang pemberitaan yang berkembang saat ini. Selamat membaca!

Sengaja atau tidak MetroTV saat menghancurkan Prabowo dengan menggunakan teori kontradiksi ala komunis. Cara-cara teori kontradiksi yang lazim digunakan oleh komunis itu, dipraktekan oleh MetroTV. 

Membenturkan antara tokoh yang menjadi wakil kelas proletar (rakyat miskin) dengan tokoh kaum borjuis (orang kaya). Inilah dalam berbagai episode tayangan yang disajikan oleh MetroTV milik si 'brewok' Surya Paloh, yang kroni Soeharto, sekarang menjadi 'kroni' Mega dan Jokowi.

Teori perbedaan kelas itu menampilkan sisi-sisi kontradiksi yang sangat ekstrim antara kedua tokoh Jokowi dan Prabowo. Rakyat atau publik setiap hari dijejali atau dicekoki seakan fakta-fakta yang kontradiksi. Dengan visualisi kedua tokoh yang penuh dengan kontradiksi itu, benar-benar bisa mempengaruhi keyakinan, perasaan, pikiran, dan membentuk persepsi rakyat luas.

Jokowi digambarkan sebagai tokoh rakyat jelata. Jokowi tokoh bagi kaum proletar yang sangat sengsara dan tertindas. Jokowi sederhana. Tidak bergermelap dan flamboyan. Sampai digambarkan harga bajunya, celana, dan sepatunya, yang tak sampai Rp 200 ribu rupiah.

Jokowi tokoh yang sangat dekat ke rakyat. Terus menghampiri rakyat jelata dengan blusukan. Profilenya benar-benar sangat bersahaja. Tutur bahasanya sangat sederhana. Tegas dan tidak bertele-tele. Jokowi dengan badannya yang kurus itu, seakan melambangkan kebanyakan rakyat Indonesia.

Bahkan, Metro TV mengulang-ulang saat Jokowi dan JK mendeklarasikan pencalonannya sebagai calon presiden dan wakil presiden, di Gedung Juang, hanya menggunakan sepeda ontel. Diiringi masa pendukungnya, dan terus dielu-elukan.

Dari Jalan Teuku Umar menuju Gedung Juang di Jalan Kwitang, ditempuh dengan menggunakan speda ontel. Sebuah drama visualisasi yang mengandung pesan tentang Jokowi dan JK, yang sangat bersahaja, seperti sebagian besar rakyat Indonesia.

Sementara itu, Prabowo digambarkan sebagai sosok antitesa Jokowi, yang sangat flamboyan, naik mobile jeep terbuka, terkesan mewah, diiringi oleh massa pendukungnya. Prabowo naik kuda yang dikesankan sebagai tokoh yang berbeda dengan Jokowi, dan hanya naik sepeda ontel.

Prabowo tidak menunjukkan sebagai tokoh yang egaliter. Anti rakyat kecil. Bahkan, Andian Napitulu, tokoh kiri, menyebutkan Prabowo, sebagai sosok militer yang penuh melakukan pelanggaran HAM.

Karena itu, MetroTV ketika menampilkan gambar antara Jokowi dan Prabowo selalu sangat kontradiksi. Jokowi selalu dikerumini rakyat kecil. Jokowi disalami oleh rakyat dikampung-kampung. Jokowi mencebur got, dan masuk ke lubang gorong-gorong, dan selalu diidentikan dengan kehidupan rakyat. Mentro TV terus mengekpose sosok Jokowi yang sok merakyat itu.

Sekali-kali Metro TV memunculkan gambar Prabowo, dan diselilingi dengan kerusuhan yang terjadi di bulan Mei '98. Kerusuhan Mei '98 sebagai peristiwa yang pahit, dan akan selalu dikenang oleh bangsa Indonesia.

Peristiwa Mei '98 itu selalu dilekatkan kepada Prabowo. Tak heran kalau tokoh kiri Adian Napiputulu, menjadikan peristiwa Mei '98, itu sebagai amunisi menghancurkan Prabowo sebagai tokoh militer yang harus bertanggungjawab.

Pengamat politik UI, Boni Hargen, mengatakan bahwa Jokowi tokoh masa depan, yang egaliter, merakyat, anti kekerasan, dan sangat berbeda dengan Prabowo yang dilekatkan dengan kekerasan, borjuis, bagian dari rezim Orde Baru, dan tidak layak memimpin Indonesia di masa depan.

Tetapi, seorang ustadz Salafi, Zainal Abidin, mengatakan, Jokowi yang kurus belum tentu merakyat, ujarnya. Bahkan, Ustadz Zainal menambahkan, bahwa Jokowi dimaksudkan 'ojo kuwi' (jangan itu). Maksudnya jangan memilih Jokowi. Karena Jokowi disangsikan komitmen keIslamannya.

Di mana ini sangat nampak partai yang mendukungnya selain PDIP, juga partai seperti Hanura, yang dipimpin Jendral Wiranto, PKPPI, yang dipimpin Mayjen Sutiyoso, dan Nasdem, yang dipimpin Surya Paloh, yang semua mereka itu tak lain kroni Soeharto dan Orde Baru.

Jadi apa yang diharapkan dari Jokowi yang sekarang dicitrakan sebagai tokoh 'wong cilik', sampai-sampai harus dibuat film yang tujuannya mengelabuhi mata rakyat, yaitu film Jokowi dan JK, makan lesehan di atas tikar dan naik  bajaj. Semua hanyalah tujuannya menipu rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar