Masjid Babussalam Kuzazo – Pemilihan Presiden kian dekat. Genderang perang dan propaganda kian gencar
dilakukan oleh masing-masing kedua kubu capres dan cawapres. Sebagian orang
menganggapnya adalah hal yang biasa, bahkan penggunaan kata “perang” pun menurutnya adalah sebuah pemaksaan
istilah, mengingat di dunia politik tak ada yang abadi. Satu kubu boleh saja
berseberangan dengan yang lain, namun di kali yang lain ia bisa jadi menjadi
teman akrab bagi musuhnya.
Media menjadi
senjata paling ampuh dalam menyebarkan opini dan propaganda. Seperti yang kita
ketahui, beberapa elit politik memiliki hubungan erat dengan media kenamaan di
negeri ini, televisi utamanya. Abu Rizal Bakrie, Surya Paloh dan Hary
Tanoesoedibjo adalah masing pemilik TVOne (Viva Group), MetroTV dan MNC Group.
Jika sempat, cobalah secara
seksama perhatikan kemana arah pemberitaan saat masing-masing stasion televisi
tersebut menampilkan info tentang politik, terkhusus kaitannya dengan Pilpres? Yak,
amatlah mudah menebak kemana semua pemberitaan itu akan bermuara. Sadar atau
tidak, kita akan digiring pada suatu opini tunggal, pencitraan kepada calon
capre dan cawapres yang didukung oleh pemilik televisi tersebut.
Kali
ini, Babussalam menyuguhkan apa yang dilakukan oleh salah satu media kenamaan
di negeri ini. Tulisan ini kami sadur secara menyeluruh dari situs http://www.voa-islam.com dengan judul Metro TV Menghancurkan Prabowo Dengan
Teori Kontradiksi Ala Komunis. Tulisan ini tidaklah bermaksud mendukung salah
satu kubu capres/cawapres, tapi sekedar menjadi tambahan informasi buat kita,
agar kita semakin jeli tentang pemberitaan yang berkembang saat ini. Selamat membaca!
Sengaja atau
tidak MetroTV saat menghancurkan Prabowo dengan menggunakan teori kontradiksi
ala komunis. Cara-cara teori kontradiksi yang lazim digunakan oleh komunis itu,
dipraktekan oleh MetroTV.
Membenturkan
antara tokoh yang menjadi wakil kelas proletar (rakyat miskin) dengan tokoh
kaum borjuis (orang kaya). Inilah dalam berbagai episode tayangan yang
disajikan oleh MetroTV milik si 'brewok' Surya Paloh, yang kroni Soeharto,
sekarang menjadi 'kroni' Mega dan Jokowi.
Teori perbedaan
kelas itu menampilkan sisi-sisi kontradiksi yang sangat ekstrim antara kedua
tokoh Jokowi dan Prabowo. Rakyat atau publik setiap hari dijejali atau dicekoki
seakan fakta-fakta yang kontradiksi. Dengan visualisi kedua tokoh yang penuh
dengan kontradiksi itu, benar-benar bisa mempengaruhi keyakinan, perasaan,
pikiran, dan membentuk persepsi rakyat luas.
Jokowi
digambarkan sebagai tokoh rakyat jelata. Jokowi tokoh bagi kaum proletar yang
sangat sengsara dan tertindas. Jokowi sederhana. Tidak bergermelap dan
flamboyan. Sampai digambarkan harga bajunya, celana, dan sepatunya, yang tak
sampai Rp 200 ribu rupiah.
Jokowi tokoh
yang sangat dekat ke rakyat. Terus menghampiri rakyat jelata dengan blusukan.
Profilenya benar-benar sangat bersahaja. Tutur bahasanya sangat sederhana.
Tegas dan tidak bertele-tele. Jokowi dengan badannya yang kurus itu, seakan
melambangkan kebanyakan rakyat Indonesia.
Bahkan, Metro
TV mengulang-ulang saat Jokowi dan JK mendeklarasikan pencalonannya sebagai
calon presiden dan wakil presiden, di Gedung Juang, hanya menggunakan sepeda
ontel. Diiringi masa pendukungnya, dan terus dielu-elukan.
Dari Jalan
Teuku Umar menuju Gedung Juang di Jalan Kwitang, ditempuh dengan menggunakan
speda ontel. Sebuah drama visualisasi yang mengandung pesan tentang Jokowi dan
JK, yang sangat bersahaja, seperti sebagian besar rakyat Indonesia.
Sementara itu,
Prabowo digambarkan sebagai sosok antitesa Jokowi, yang sangat flamboyan, naik
mobile jeep terbuka, terkesan mewah, diiringi oleh massa pendukungnya. Prabowo
naik kuda yang dikesankan sebagai tokoh yang berbeda dengan Jokowi, dan hanya
naik sepeda ontel.
Prabowo tidak
menunjukkan sebagai tokoh yang egaliter. Anti rakyat kecil. Bahkan, Andian
Napitulu, tokoh kiri, menyebutkan Prabowo, sebagai sosok militer yang penuh
melakukan pelanggaran HAM.
Karena itu,
MetroTV ketika menampilkan gambar antara Jokowi dan Prabowo selalu sangat
kontradiksi. Jokowi selalu dikerumini rakyat kecil. Jokowi disalami oleh rakyat
dikampung-kampung. Jokowi mencebur got, dan masuk ke lubang gorong-gorong, dan
selalu diidentikan dengan kehidupan rakyat. Mentro TV terus mengekpose sosok
Jokowi yang sok merakyat itu.
Sekali-kali
Metro TV memunculkan gambar Prabowo, dan diselilingi dengan kerusuhan yang
terjadi di bulan Mei '98. Kerusuhan Mei '98 sebagai peristiwa yang pahit, dan
akan selalu dikenang oleh bangsa Indonesia.
Peristiwa Mei
'98 itu selalu dilekatkan kepada Prabowo. Tak heran kalau tokoh kiri Adian
Napiputulu, menjadikan peristiwa Mei '98, itu sebagai amunisi menghancurkan
Prabowo sebagai tokoh militer yang harus bertanggungjawab.
Pengamat
politik UI, Boni Hargen, mengatakan bahwa Jokowi tokoh masa depan, yang
egaliter, merakyat, anti kekerasan, dan sangat berbeda dengan Prabowo yang
dilekatkan dengan kekerasan, borjuis, bagian dari rezim Orde Baru, dan tidak
layak memimpin Indonesia di masa depan.
Tetapi, seorang
ustadz Salafi, Zainal Abidin, mengatakan, Jokowi yang kurus belum tentu
merakyat, ujarnya. Bahkan, Ustadz Zainal menambahkan, bahwa Jokowi dimaksudkan
'ojo kuwi' (jangan itu). Maksudnya jangan memilih Jokowi. Karena Jokowi
disangsikan komitmen keIslamannya.
Di mana ini
sangat nampak partai yang mendukungnya selain PDIP, juga partai seperti Hanura,
yang dipimpin Jendral Wiranto, PKPPI, yang dipimpin Mayjen Sutiyoso, dan
Nasdem, yang dipimpin Surya Paloh, yang semua mereka itu tak lain kroni
Soeharto dan Orde Baru.
Jadi apa yang
diharapkan dari Jokowi yang sekarang dicitrakan sebagai tokoh 'wong cilik',
sampai-sampai harus dibuat film yang tujuannya mengelabuhi mata rakyat, yaitu
film Jokowi dan JK, makan lesehan di atas tikar dan naik bajaj. Semua
hanyalah tujuannya menipu rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar