Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Kemarin
malam Senin 13 september Kemenag melalui dirjen BIMAS Islam menyampaikan hasil
siding itsbat sebagai hasil dari penggunaan metode imaknur ru'yat terkait
dengan penentuan hari arofah dan hari raya Idul Adha. Pemerintah memutuskan
bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H jatuh pada hari Selasa 15 September 2015
sehingga hari Arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu tanggal 23 September
2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Kamis 24 september
2015.
Sementara
Muhammadiyah dengan metode wujudul hilalnya sudah menetapkan jauh sebelumnya
bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H jatuh pada hari Senin 14 September 2015 sehingga
hari arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Selasa tanggal 22 September
2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu 23 September
2015.
Adapun pemerintah Arab Saudi, menurut informasi juga menetapkan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H jatuh pada hari Selasa 15 September 2015 sehingga hari Arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu tanggal 23 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Kamis 24 september 2015.
Keputusan pemerintah Arab Saudi terkait dengan hari Arofah (9 Dzhulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu tanggal 23 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Kamis 24 september 2015 yang berbeda dengan jadwal perjalan haji yang sudah dirilis oleh kemenag dimana dicantumkan bahwa wukuf di Arofah jatuh pada hari Selasa tanggal 22 September 2015 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah 1436 H) jatuh pada hari Rabu 24 September 2015 mungkin sedikit membuat ragu beberapa warga dan simpatisan Muhammadiyah.
Untuk itu perlu dijelaskan kepada warga Muhammadiyah dan simpatisan Muhammadiyah meskipun keputusan Muhammadiyah terkait dengan penetapan tanggal 1 Dzulhijjah 1436 H, Hari Arofah dan hari idul Adha berbeda dengan pemerintah dan bahkan juga berbeda dengan Arab Saudi, bahwa keputusan itu benar adanya berdasarkan metode Hisab Wujudul Hilal yang dipedomani Muhammadiyah. Penjelasan tersebut diberikan agar mereka tidak ragu ketika melaksanakan puasa Arofah besok selasa 22 September 2015 dan shalat Idul Adha besok Rabu 23 September 2015.
Apakah
Puasa Arafah harus dikerjakan bersamaan dengan jama'ah haji yang sedang
berwukuf ?
ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ ﺃَﺣْﺘَﺴِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﻥْ ﻳُﻜَﻔِّﺮَ ﺍﻟﺴَّﻨَﺔَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻗَﺒْﻠَﻪُ ﻭَﺍﻟﺴَّﻨَﺔَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺑَﻌْﺪَﻩُ
"Puasa
hari Arofah aku berharap kepada Allah agar penebus (dosa) setahun sebelumnya
dan setahun sesudahnya" (HR Muslim no 197)
Kalangan ulama berbeda pendapat terkait dengan makna kalimat ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ "Puasa hari Arofah...".
Pendapat
pertama mengatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan bersamaan
dengan wukufnya para jama'ah haji di padang Arafah.
Pendapat
Kedua menyatakan bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal
9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada masing-masing
wilayah.
Masalah tersebut adalah masalah khilafiyah fiqhiyah, sehingga dibutuhkan adanya kelapangan dada untuk legowo dalam menghadapi permasalahan ini, tidak perlu ngotot apalagi menuduh orang yang berbeda pendapat dengan tuduhan yang tidak-tidak. Kita hadapi permasalahan tersebut dengan saling berlapang dada. Jika setiap permasalahan khilafiyah kita ngotot maka kita akan selalu ribut.
Permasalah tersebut pada dasarnya berangkat dari dasar yang sama, hanya berbeda dalam memahami teksnya saja. Jika seandainya Nabi saw. dalam hadits tersebut bersabda "Puasa Arafah lah kalian ketika para jam'ah haji sedang wukuf di padang Arafah", tentu tidak akan muncul persoalan. Akan tetapi karena sabda nabi saw. berbunyi ﺻِﻴَﺎﻡُ ﻳَﻮْﻡِ ﻋَﺮَﻓَﺔَ "Puasa hari Arofah...", maka muncullah perbedaan dalam memahami sabda Nabi tersebut, apakah maksudnya adalah "hari dimana para jama'ah haji sedang wukuf di Arafah"? ataukah yang dimaksud adalah "hari tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan dengan hari Arofah?".
Muhammadiyah
dalam hal ini memahami bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada
tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada di wilayah
Indonesia sesuai dengan hasil perhitungan metode hisab wujudul hilal. Oleh
karena itu, puasa Arafahnya tidak harus bersamaan dengan jama'ah haji yang
sedang berwukuf di Arafah ketika terjadi perbedaan hari antara Muhammadiyah dan
pemerintah Arab Saudi.
Beberpa
argumentasi dapat dikemukakan untuk mendukung pemahaman Muhammadiyah tersebut,
yaitu :
PERTAMA : Rasulullah saw. telah menamakan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 dzulhijjah meskipun kaum muslimin belum melasanakan haji.
Dalam
sunan Abu Dawud :
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
Dari
Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam berkata : "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
berpuasa pada 9 Dzulhijjah, hari 'Aasyuroo' (10 Muharrom) dan tiga hari setiap
bulan" (HR Abu Dawud)
Hadits di atas menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbiasa puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Tatkala
mengomentari lafal hadits yang berbunyi :"Orang-orang (yaitu para sahabat)
berselisih tentang puasa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (tatkala di padang
Arofah)", Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
"Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arafah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, terbiasa mereka lakukan tatkala tidak bersafar. Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar kepada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar" (Fathul Baari 6/268)
Perlu diketahui bahwa Nabi saw. hanya berhaji sekali yaitu pada saat haji wadaa'- dan ternyata Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa di hari Arafah meskipun tidak ada dan belum terlaksananya wukuf di padang Arafah oleh umat Islam pada saat itu. Hal itu menujukan bahwa konsentrasi penamaan puasa Arafah tidak karena adanya orang sedang berwukuf di Arafah, tapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah.
KEDUA :
Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin -taruhlah- sekitar 200 tahun
yang lalu, sebelum ditemukannya telegraph, apalagi telepon. Maka jika puasa
Arafah penduduk suatu negeri kaum muslimin harus sesuai dengan wukufnya jama'ah
haji di padang Arafah, maka bagaimanakah puasa Arafahnya penduduk negeri-negeri
yang jauh dari Makkah seperti Indonesia, India, Cina dll 200 tahun yang lalu?
apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?.
Demikian juga bagi yang hendak berkurban, maka sejak kapankah ia harus menahan untuk tidak memotong kuku dan mencukur rambut?, dan kapan ia boleh memotong kambing kurbannya?, apakah harus menunggu kabar dari Makkah? yang bisa jadi datang kabar tersebut berbulan-bulan kemudian?
KETIGA : Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama'ah haji di padang Arafah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong adalah 6 jam?.
Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Makkah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam. Dan tatkala penduduk Makkah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Makkah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf??
KEEMPAT : Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama'ah haji tidak bisa wukuf di padang Arofah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama'ah yang wukuf di padang Arafah?
Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arafah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arafah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Maka barang siapa yang satu mathla' dengan Makkah dan tidak berhaji maka hendaknya ia berpuasa di hari para jama'ah haji sedang wukuf di padang Arafah karean pada saat itu di Makkah sudah tanggal 9 Dzhulhijjah, akan tetapi jika ternyata mathla'nya berbeda -seperti penduduk kota Sorong- maka ia menyesuaikan 9 dzulhijjah dengan kalender di Sorong.
Intinya
permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah. Meskipun Muhammadiyah lebih
condong kepada pendapat kedua -yaitu setiap negeri menyesuaikan 9 dzulhijjah
berdasarkan kalender masing-masing negeri-, tetapi Muhammadiyah menyadari ada
juga pendapat pertama yang tentu juga punya argumen kuat
Permasalahan
seperti ini sangatlah tidak pantas untuk dijadikan ajang untuk saling
memaksakan pendapat, apalagi menuding dengan tuduhan kesalahan manhaj atau
kesalahan aqidah dan sebagainya. Semoga Allah mempersatukan kita di atas
ukhuwwah Islamiyah yang selalu berusaha untuk dikoyak oleh syaitan dan para
pengikutnya. Kita harus mempunyai sikap setuju dalam perbedaan. Wallahu a'lam
bish shawab.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Sumber : (kecuali judul) http://www.sangpencerah.com/2015/09/kapan-puasa-arafah-mengikuti-wukuf-atau.html
Gambar : http://www.wartabuana.com/pictures/63Wukuf-Di-Arafah-201410031036051.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar