Sabtu, 02 Agustus 2014

Arab Kaya Lebih Peduli Sepakbola [Ironi Konflik Israel - Palestina]



Jakarta - Pekan lalu, Frank Lampard, pesepakbola asal Inggris dari klub Chelsea, London, dibeli New York City Football Club (NYCFC). Sisi menarik dari kepindahan Lampard dari London ke New York, terletak pada perlakuan dan nasib seorang anak manusia.


Nasib Lampard relatif cukup baik. Chelsea, klub dimana ia menghabiskan waktu yang cukup lama, tergolong salah satu klub sepakbola terkaya di dunia, milik Abramovich dari Rusia. Sementara NYCFC, sebuah klub baru tapi pemiliknya Sheik Mansour, tergolong salah seorang manusia terkaya di dunia.

Lampard mendapat perlakuan yang cukup istimewa dari Sheik Mansour, pemilik NYCFC yang di negaranya Uni Emirat Arab (UEA) menduduki posisi Wakil Perdana Menteri. Lampard sendiri sebetulnya sudah tergolong pesepakbola berusia senja. Itulah salah satu alasan, mengapa Chelsea melepasnya.

Kendati begitu, Sheik Mansour yang juga pemilik klub sepakbola di Inggris, Manchester City, tetap melihat potensi yang masih besar tersimpan dalam diri Lampard sebagai pesepakbola profesional.

Sehingga sekalipun NYCFC baru akan mengikuti kompetisi di Amerika Serikat pertengahan 2015, tapi jauh-jauh hari, terhitung Juli 2014 Lampard sudah direkrutnya. Sekaligus menerima gaji bulanannya.

Bagi Sheik Mansour, yang juga sedang membentuk Melbourne City Football Club (MCFC), Australia, membayar gaji Lampard Rp1,5 miliar per minggu atau setara Rp6 miliar per bulan, bukan sebuah beban. Yang paling penting Lampard dapat menjadi magnit bagi pesepakbola andal lainnya agar jaringan bisnis sepakbola Sheik Mansour dapat berkembang pesat.

Lantas apa relevansi antara Frank Lampard serta Sheik Mansour dengan krisis Israel-Palestina ? Secara langsung tidak ada. Tetapi kalau mau dikait-kaitkan, tetap saja ada.

Kaitannya terletak pada soal sikap dan kepedulian miliarder kaya dari negara Arab seperti Sheik Mansour. Ia tidak terkesan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap tragedi kemanusiaan di Gaza, Palestina. Pertarungan membeli pesepakbola yang bisa memberi keuntungan dan citra positif, lebih penting ketimbang mengurusi masalah korban perang di jalur Gaza.

Walaupun ribuan anak-anak, wanita dan orang sepuh Arab Palestina sudah tewas dalam satu bulan terakhir ini akibat serangan militer Israel, Sheik Mansour sebagai anggota pemerintahan, UEA, tidak terdengar menyatakan rasa sedih dan pedih.

Ia lebih peduli dan tertarik mengeluarkan uang bermiliar-miliar rupiah untuk menghidupi para pesepakbola dari negara-negara Barat. Ia tidak begitu peduli pada soal krisis ataupun tragedi kemanusiaan yang dialami bangsa Arab Palestina di jalur Gaza.

Liputan berbagai media internasional termasuk media berbahasa Arab seperti Al Jazeera, begitu intensif melaporkan tentang tragedi kemanusiaan di Gaza, tak cukup menggugah kepeduliannya.

Teriakan masyarakat global, yang berseru agar bangsa Arab Palestina dibantu semampunya, cukup nyaring terdengar. Namun sejauh ini tidak terdengar adanya respon yang konkrit terutama dari anggota keluarga Kerajaan Uni Emirat Arab.

Dari segi lokasi, tempat terjadinya tragedi kemanusiaan jauh lebih dekat dengan Abu Dhabi, ibukota Uni Emirat Arab. Jarak antara Abu Dhabi dengan Jalur Gaza hanya sekitar 2.108 kilometer atau kalau ditempuh dengan penerbangan hanya memakan waktu sekitar 2 jam 45 menit. Bandingkan jarak Abu Dhabi-London atau Abu Dhabi-New York yang berlipat-lipat kali.

Bagi negara Arab sekaya UEA, membantu restorasi termasuk keuangan Gaza yang hancur lebur, seharusnya bukan sebuah persoalan besar. Terutama jika dilihat dari jumlah uang yang dibelanjakan kerajaan ini untuk membiayai seluruh pemain, pelatih dan asisten pelatih yang menangani kegiatan sepakbola di tiga benua: Eropa, Amerika dan Australia.

Dari segi latar belakang budaya, kemanusiaan bahkan agama, jika UEA membantu korban kekejaman Israel di Gaza, jauh lebih bermakna - ketimbang Sheik Mansour harus membayar puluhan miliar rupiah per tahun kepada seorang pesepakbola yang menjadi squad kesebelasannya di London.

Di jalur Gaza, boleh jadi terdapat korban yang memiliki nama sama dengan pemilik Manchester City tersebut. Namun kesamaan nama itu, tidak cukup kuat untuk membuatnya tergerak. Cukup kontras dengan perhatian yang diberikannya kepada pesepakbola seperti pemain tengah-menyerang Manchester City, bernama Jesus Navas!

Masih soal seputar uang dan pengeluaran. Untuk mendatangkan Manuel Pellegrini, pelatih pengganti Roberto Mancini di 2013, Sheik Mansour dengan gampangnya menyetujui permintaan pria asal Chili tersebut untuk dikontrak sebesar 3,5 juta pound sterling per tahun.

Di luar gaji tersebut, manajemen Manchester City masih menyiagakan dana taktis sebesar 15 juta pound sterling untuk keperluan operasional. Sehingga uang bagi keluarga kerajaan UEA, salah satu negara penghasil minyak di Timur Tengah itu, bukan sebuah masalah besar.

Betapa besar dampak positif bantuan keluarga Emirat kepada masyarakat Arab Palestina, jika dalam situasi seperti sekarang, Abu Dhabi membuka pundi-pundinya.

Tapi itu tadi, dalam krisis ataupun tragedi kemanusiaan di Gaza, Palestina, negara Arab yang kaya raya ini, sepertinya tidak terketuk hatinya sama sekali untuk memberi bantuan. Atau kalaupun memberi bantuan keuangan, obat-obatan secara diam-diam, bantuan itu tidak cukup signifikan dibanding yang diberikannya dalam industri sepakbola.

Lalu pertanyaan yang mengemuka, ada apa atau mengapa? Apakah persatuan dan kesatuan bangsa Arab memang sudah sedemikian rapuh? Atau mungkinkah orang kaya, negara kaya - dimanapun mereka berada, cenderung lebih "pelit" ketimbang mereka atau negara yang hidupnya hanya pas-pasan?

Sebab sejatinya, bukan hanya Lampard yang mendapat perlakuan istimewa dari keluarga kerajaan Uni Emirat Arab. Dalam arti mendapat limpahan bermiliar-miliar rupiah berkat kepiawaiannya bermain speakbola.

Masih ada puluhan bahkan ratusan pesepakbola ternama lainnya dan berasal dari berbagai negara yang memperoleh limpahan berkah dari keluarga kerajaan UEA. Di antaranya David Villa, bekas penyerang Atletico Madrid (Sapnyol). Dan biaya yang dikeluarkan salah satu negara Arab kaya ini untuk urusan sepakbola, benar-benar tak tertandingi atau tak pernah bisa dibayangkan, bila dilihat dari perspektif Indonesia.

David Villa misalnya bahkan diberi kesempatan oleh Sheik Mansour untuk "membangun" klub sepakbola miliknya di Melbourne, Australia. Dari Madrid, Spanyol, ia diterbangkan ke Melbourne, Australia.

Sekalipun bermukim di Melbourne, Kamis 31 Juli 2014, ketika Manchester City bertanding melawan Liverpool dalam kejuaraan International Cup di New York, David Villa diharuskan terbang dari Melbourne ke New York. Jarak yang begitu jauh antara Melbourne - New York, tidak menjadi hambatan. Sebab dalam hal ini, duitlah yang berbicara atau "money talks".

Tujuannya hanya satu. David Villa harus menjadi salah satu ikon yang mempromosikan betapa sehatnya jaringan bisnis sepakbola milik keluarga kerajaan UEA yang berada di benua berbeda. Selain menangani bisnis sepakbola di London, New York dan Melbourne, keluarga Sheik Mansour juga menekuni bisnis olahraga di Tokyo.

Bisnis sepakbola ataupun olahraga, memang sedang diminati para pemodal raksasa. Selain menguntungkan, keberhasilan di bisnis sepakbola bisa melejitkan nama baik. Sangat berbeda dengan "bisnis perang" ataupun "bisnis persenjataan" tentunya.

Di luar Sheik Mansour, keluarga kerajaan dari Uni Emirat Arab yang berbisnis dalam industri sepakbola juga ada Sheik Maktoum dari Dubai yang lebih dikenal dengan bendera perusahaannya, The Emirates Group.

Kelompok usaha ini merupakan pemilik Emirates Stadium, stadion megah yang menjadi markas klub asal London, Arsenal. Di Prancis, kelompok usaha Emirates, juga menjadi sponsor utama dari klub Paris Saint Germain (PSG), juara Liga Prancis 2013 yang bermarkas di Kota Paris. 



 Sumber: inilah.com I Gambar: Edit dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar